Untukmu Dewi Angin

Foto Milik: orang ini
Cobalah rehat sejenak dan lihat ke belakang. Hitung berapa banyak langkah yang sudah kita tempuh. Seberapa jauh jarak yang telah kita lalui di jalan setapak ini? Sepuluh langkah? Dua puluh langkah? Seribu mil? Entahlah... Berapapun itu, aku senang melakukan perjalanan bersama kamu. Dan jujur saja (tanpa maksud untuk memuji) kamu adalah rekan seperjalanan yang mengasyikan.

Tapi sejujurnya, aku tidak bisa melihat kemana jalan setapak ini akan berlanjut. Terlalu banyak perdu dan kerimbunan belukar yang membentang di depan sana. Belum lagi ditambah dengan kabut yang senantiasa turun menghalangi pandangan, membuat kita sulit untuk menapaki langkah. Namun tak apa, aku tidak takut tersesat. Lagipula, bukankah memang itu tujuan kita? Untuk tersesat bersama-sama? Sebab hanya dengan tersesatlah kita bisa menemukan tempat yang tidak diketahui orang lain.

Dan jika ternyata didepan sana tidak ada jalan, maka aku akan membuat jalan itu. Untuk kamu. Untuk kita. Batu demi batu, kalau perlu sampai terbentang jalan yang bisa kita lalui. Mengapa? Karena aku percaya, di depan sana akan ada suatu tempat yang mempertemukan kita dengan keluasan alam. Sebuah tempat dimana kita bisa beristirahat sejenak, mengistirahatkan hati yang lelah, untuk kemudian kembali meneruskan perjalanan menuju tempat yang tidak kita ketahui; sebuah tempat tak bernama, namun terasa ada...

Buat aku pribadi, yang aku tuju bukanlah lokasi atau tempat tujuan tertentu, melainkan perjalanan itu sendiri. Dan disinilah aku sekarang, di tempat seharusnya aku berada: di sisi kamu, berjalan berdampingan sembari mengikutsertakan rasa percaya dalam setiap langkah. Aku pergi, untuk pulang kepada sebuah perjalanan. Untuk menjalaninya bersama kamu, menapaki jalan setapak mungil milik kita. Dan dari segala bentuk kemungkinan yang ada, tak pernah sekalipun kamu menjadi pertanyaan. Kamu adalah alasan. Alasan saya untuk selalu bertahan.

"Sejarahkan cerita, kita akan terus berjalan habiskan kertas dalam buku dan aksara dalam diksi. Pijaran kita terlalu indah untuk mengenal eufemisme apalagi tautologi yang sedemikian degradatif."

Terima kasih. Untuk tiap-tiap butir energi yang kamu tabur selama ini. Mungkin, tidak selamanya perasaan harus dimuntahkan lewat lisan. Karena dalam diam, kita bisa menari di bawah pelangi, ber kuyup ria oleh mimpi di firdaus yang abadi...
Terima kasih sayang..
Terima kasih untuk semuanya...



***


Komentar