Memusuhi


Setiap keinginan akan selalu terhalang oleh kemampuan badan. Pada mulanya adalah hasrat, hasrat untuk berbuat pun bernubuat. Juga diri yang mudah terkesima sehingga dengan telak membikin mulut lebar ternganga cukup lama. Atau konsentrasi yang seringkali melarikan diri, hinggap-hinggap secara acak melampaui segenap ambivalensi.

Tetapi saya menyesali sebuah kajian filsafat, tentang pikiran dan badan yang tidak ayal menolak kompromi. Tentang setiap keinginan yang akan selalu terhalangi oleh kemampuan badan. Mungkin, saya berniat memusuhi salah satunya, dengan mengkombinasikan lakon antagonis protagonis ke dalam monolog yang kental pembujuk-rayuan. Manakala yang tunggal dirasa majemuk, akan terbit perang yang berkecamuk.



Saya ingin memusuhi raga…

Karena pikiran ini sedang deras. Menukik elok seraya meranggas kebas. Banyak yang terbit di sela-sela momentum layaknya loncatan kuantum di celah lubang jarum. Tenggelam sebentar sambil melantun nanar merayapi bilah-bilah sangkar. Sebagaimana seorang ahli nujum yang tertegun akan gerak pendulum.

Saya mau terbang saja, terbang meninggalkan raga terkapar di bawah sana. Terbang bersama cahaya menelusuri petak-petak semesta. Terbang menyusuri memori, merapikan arsip-arsip lama, menyusun masa kini, dan meramal masa nanti.

Saya ingin memusuhi raga yang masih menuntut pikiran untuk beristirahat sejenak karena letih yang merasukinya begitu tamak. Saya ingin memusuhi raga yang masih menyiasati mata agar terpejam untuk menghindar dari perubaan tekanan yang menghujam. Saya ingin memusuhi raga karena ia menua, tidak seperti jiwa yang gagal dibujuk usia. Saya ingin memusuhi raga, namun antipati ini berujung durjana…



Saya ingin memusuhi pikiran...

Otak saya berontak, namun raga ini memilih diam dalam riam benak yang teriak. Saya muak…

Saya ingin memusuhi pikiran karena kekasatmataannya terlalu merangsang. Saya ingin memusuhi pikiran karena ketidakpastiannya yang selalu memastikan diri untuk kembali hilang. Saya ingin memusuhi pikiran karena permainannya yang melena pun menghanyutkan. Saya ingin memusuhi pikiran, namun masih ada sisa-sisa doa yang perlu dikabulkan. Saya segan…


Seperti kelahiran, juga kematian, akan senantiasa hadir sebagai penutup kisah manusia yang dihantui kesendirian. Sebagai pertentangan instrumen sosial yang berawal dan berakhir dalam dimensi, tanpa harus menafikan nurani.


Saya ingin memusuhi kehidupan dan kematian…



***

Komentar

Unknown mengatakan…
Kita telah mati tanpa pernah dilahirkan.

dan kita masih hidup tanpa pernah sekalipun berhak untuk menuntut…
manap fama mengatakan…
aku terdiam, mencercah setiap kata yang masih jarang aku dengar