Barista Ingusan


Sekali waktu, saya adalah seorang barista. Bukan profesional, saya hanyalah amatir yang gemar bereksperimen remeh. Maka, kecil kemungkinannya untuk saya menciptakan terobosan baru dalam hal racik-meracik kopi. Walau tidak ada keahlian sama sekali.

Eksperimen saya terhenti pada satu jenis biji kopi. Biji ini unik sekaligus menarik. Saya mencurahkan segenap daya untuk mengkomposisikannya ke dalam takaran yang pas. Nikmat dan khas.

Ada kalanya saya berhasil meskipun lebih sering gagal. Maklum, ini eksperimen remeh dan saya masih teramat bodoh dalam urusan seni peracikan. Ternyata rumit. Banyak indikator yang mempengaruhi tingkat keberhasilan saya. Indikator-indikator yang (celakanya) juga saya anggap remeh. Seperti medium, suhu, kematangan molekul, keberimbangan bobot, bentuk penyajian, cara mengaduk, hal-hal lainnya yang sepele, namun fatal.

Kegagalan besar yang pertama adalah ketika saya menambahkan unsur kasih sayang ke dalamnya. Sang kopi meledak. Menyembur ke segala penjuru dapur. Menorehkan ampas ke mana-mana. Ke serbet, ke lemari kayu, bahkan ke kaca jendela. Gelas ukur yang saya gunakan sebagai penakar juga di buat hancur. Melebur menjadi satu dengan cairan kental di sudut dapur. Saya terhenyak beberapa saat. Lalu mulai membersihkannya pelan-pelan, inci demi inci, sebelum saya melanjutkan eksperimen lagi.


Ini pelajaran yang sangat mahal ternyata. Karena kasih sayang mampu menstimulasi elemen tertentu yang menjadi pemicu atom ledak. Saya mencoret itu dalam daftar bahan baku.


Beberapa eksperimen selanjutnya di kemudian hari, saya berhasil menciptakan kopi yang nikmat lagi. Aromanya kini lebih menguar dan membuncah. Menambah daya pikatnya jauh lebih tinggi. Namun agaknya, terlampau terpikat dan lupa diri, saya terlalu cepat berpuas hati. Lantas meninggalkan biji kopi tidak tersentuh dalam kurun waktu yang cukup lama.


Mungkin saya mulai bosan dengan kopi atau hanya mengharapkan ada seorang doi yang meracikkan kopi dengan segenap hati. Saya melupakan tugas dan tanggung jawab, serta komitmen saya sebagai seorang barista ingusan untuk terus berinovasi. Saya takabur. Menelantarkan bahan baku terpenjara di ruang dapur. Lama…


Dan ini adalah kegagalan kedua. Ketika saya memutuskan untuk berhenti menjadi barista dan pergi menjelajah semesta. Lidah saya kembali rindu akan cecap getir yang biasa hadir. Malam-malam saya menjadi pendek dan prematur ketika saya terlalu cepat tertidur. Dan batin saya kuyu karena mulai dihantui prasangka yang keliru. Semoga segalanya belum terlambat ketika saya kembali memasuki dapur.


***


Komentar

Akashisedai mengatakan…
Tulisan kampret. Keren.
Unknown mengatakan…
Kata-katanya sadis ~ tapi ahh ini keren 😁😂😂✌✌
Penjaja Kata mengatakan…
Sayang, ingusmu tak menetes ke dalam ramuan kopi terakhirmu itu, bung. Ingusmu mengandung rasa manis dari kerendahan hati. :D

Salam kenal,
http://penjajakata.com/
ZAINAL MUTAKIN mengatakan…
Semenjak berenti ngopi malam malam saya juga jadi pendek, soalnya jadi gampang tudur gasiikk
Tira Soekardi mengatakan…
wah penyuka kopi dan pembuat kopi, misterius
Johanes Anggoro mengatakan…
njiiiir keren kata-katanya cuiy (y)
Anonim mengatakan…
apaan sih gak jelas banget. nyesel gue baca ini bgsd
Alvin Hikam mengatakan…
Seduh kopimu, sudahi susahmu. haha...
izin share bos

Coretan Populer