Yogyakarta 16-11-2013


Tapi ini bukan soal penantian kasih. bukan pula soal harapan. salah satu alasan mengapa saya memilih untuk tetap keluar adalah karena saya teramat mencintai keadilan, kesetaraan. Menyesap kegelapan dalam diam kesendirian. khidmat. transparan. memabukkan.

Malam itu saya keluar dari Ponpes Krapyak. Berdiam-diam dan berharap tidak ada satupun pengurus yang tahu, memanjat pagar, berjalan kaki menuju toserba di deretan ruko depan. membeli rokok Marlboro satu bungkus untuk perbekalan. Siapa sangka justru di fase anomali seperti itu saya di cumbu malam tanpa peringatan? Terbuai. Saya lunglai. Kaki saya melangkah lebih jauh, meninggalkan tubuh yang terlalu gontai di balik tirai. Seutas fragmen perpisahan tanpa pamitan.

"Batang pertama membara"

Saya menyapa lalu lintas. senyap. Hanya ada deru nafas. Hanya desau angin selewat pintas. Sapuannya mempercepat laju bara, memperkosa batang pertama, hingga kandas terbakar tuntas. Bangsat! Sekalipun belaiannya nikmat.

"Batang kedua"

Trotoar yang belum rampung. Beberapa bata merahnya terapung di genangan mendung. Saya ingat, sore tadi hujan turun cukup deras. Sayang sekali saya tidak sempat menemaninya menari, atau bernyanyi. Padahal langit begitu mendung dan semesta seolah mendukung, ke mana saya sore tadi? Sibuk sendiri merangkai noktah kefanaan ilusi. Maaf, kasih, saya memang manusia tidak tahu diri.

"Batang ketiga"

Ada lampu jalan redup. Saya sapa, dia hanya mengangguk. Saya berhenti sebentar, pura-pura berhenti karena batuk, lalu duduk. Saya tanya apakah dirinya suntuk, atau malah mengantuk? Tidak jawabnya. Hanya gelisah. Gelisah yang meluap karena rasa bersalah. Beberapa malam sebelumnya, ada seorang anak peremuan kecil dan Ibunya terdampar di deretan ruko seberang dan dia tidak sanggup berbuat apa-apa. Dia gemetar. Sejak itulah cahayanya tidak lebih dari sekedar pendar samar. Cahaya yang berbalut butir nanar. Baiklah, satu batang lagi untuk menemaninya yang tengah di rundung gusar. Lalu rokok saya bakar.

"Batang keempat"

Saya menatap kerlip sebuah sekolah bajingan yang berani menamai dirinya institusi pendidikan. sungguhpun di hamparan sabana gading serpong dengan iklim durjana pekat petaka, gayanya senantiasa jumawa. Sekalipun bangunannya tidak di rancang sesuai standar kurikulum, hanya semata selera pemimpin yayasan. Saya ludahi pintunya. Tidak sabar untuk angkat kaki dari sekolah ini dengan segera. Karena selama dirinya hanya melihat para pelajar sebagai karung uang, selama itulah dia menyusun strategi licik yang niscaya berakhir cukup di laporan neraca laba rugi, dan korporasi babi adalah mereka yang menduakan materi pun uang seraya menafikan nurani. Ah… Tahi!

"Batang kelima"

Akhirnya saya memutar. Melewati angkringan Pak Yanto tempat kawan-kawan biasa makan malam bergerombol. Ada beberapa wajah familiar. Sibuk tertawa bersama aroma kopi yang menguar lebar. Hati sedang tak ingin bergabung dengan mereka. Baguslah. Lakon insignifikan toh lebih dahulu ditakdirkan musnah. Saya lewati mereka tanpa menyapa sesuai instruksi si pencetus naskah. Alasannya, saya harus tetap melangkah. Waktu mulai terlihat gundah.

"Batang keenam"

Sampai kembali di Pondok dengan total 9733 langkah (bila saya tidak salah) dan lima belas ribu tiga ratus rupiah. Saya lelah. Bergumul bersama abstraksi ternyata mendera tenaga. Terutama rintih tatih dan larik lagu yang tak lekang di deru hamparan haru, sekalipun eksotika malam tidak pernah keliru, dan tulisan ini teramat ambigu…


Kasih, malam tidak pernah mengecewakan. Ada ribuan berhala rahasia kehidupan yang pelik berusaha berbisik. Ada jutaan memori yang terusik. Ada labirin berisi babak demi babak tragik, dan sejatinya, ke-sementara-an akan mengoyak yang abadi, karena ketidakpastian ternyata begitu berarti. Tidak perlu dipahami. Cukup kita amini. Ya, kita amini...



"Good night"

***

Komentar

Unknown mengatakan…
Diksinya bagus banget, badannya seperti cerita tapi jantungnya seperti puisi.
Good (y) :D
Farihatun Ni'mah mengatakan…
Bahasanya jahat bgt >.<
Unknown mengatakan…
Ini endingnya 'deg' banget Siq :) serem bacanya...
Unknown mengatakan…
Bahasa setannn :D
Yg lo maksud itu sekolah Alma atau Almuna?
Unknown mengatakan…
untuk mendiskreditkan pihak sekolah?
Ahh bangsat! nyesel baca postingan ini.
Unknown mengatakan…
Keren banget..
Antara malam, rokok, dan peristiwa-peristiwa yang diaduk dalam satu wadah oleh penulis.

GoOd job bro....
Unknown mengatakan…
ini pasti asiq nulisnya sambil ngrokok juga, wkwk.. :P
Unknown mengatakan…
Wuwuwuwwuwuwuu :p
manap fama mengatakan…
indah bacaanya, jadi pengen ketemu orangnya
Akashisedai mengatakan…
Parah gila tulisannya. Selalu keren. Aaaaaaaaaghhh!
Ananda mengatakan…
Diksinya beragam. Keren!

Coretan Populer