Paradoks
Malam adalah buih dari gelas kopi hitam tanpa gula yang menolak di ajak bicara karena bulan hanya mampu merona tanpa suara. Saya maklum, terjadi setiap dentum. Hanya saja belakangan ini tirai mendung duduk di tribun pendukung, mendorong guncangan spektrum.
Maka, kepada yang di pertuan setan, saya memesan badai malam ini untuk menemani secangkir kopi. Sekalipun hujan cemburu karena suatu prasangka keliru, saya tidak akan mendua hanya karena cafein lebih mampu menyulap pori-pori agar terbuka. Malam ini dingin, entah mengapa. Padahal saya tidak mengajak dirinya ikut serta. Agaknya dia sibuk, sementara saya didera kantuk.
Di kota berhala malam terjular tergesa, air mata setan mulai mengkristal karena dinginnya dosa semakin meramba paksa. Oleh karenanya, optimisme adalah durjana yang terlapis emas. Kita hanya berspekulasi, melacurkan otak karena hal yang tidak pasti.
Tetapi kita ingkar. Menyandera mimpi di balik sangkar. Menghambat igauan menjadi hanya sekedar gumpalan kelenjar. Kertas ini masih kosong, menunggu diisi narasi pada episode ironi, yang sejujurnya tidak kuasa saya tumpahkan jika tidak di balut caci. Saya bungkam. Paradoks malam ini luar biasa jahanam.
Kita adalah perubahan dari ranah ketidaktahuan ilusi...
Saya, juga anda, yang di pertuan setan, sepertinya hanya perlu menari dalam badai kegagalan. Malam ini. detik ini. tepat ketika yang basah melingkupi...
***
Komentar