Paradoks

 
Malam adalah buih dari gelas kopi hitam tanpa gula yang menolak di ajak bicara karena bulan hanya mampu merona tanpa suara. Saya maklum, terjadi setiap dentum. Hanya saja belakangan ini tirai mendung duduk di tribun pendukung, mendorong guncangan spektrum.

Maka, kepada yang di pertuan setan, saya memesan badai malam ini untuk menemani secangkir kopi. Sekalipun hujan cemburu karena suatu prasangka keliru, saya tidak akan mendua hanya karena cafein lebih mampu menyulap pori-pori agar terbuka. Malam ini dingin, entah mengapa. Padahal saya tidak mengajak dirinya ikut serta. Agaknya dia sibuk, sementara saya didera kantuk.

Di kota berhala malam terjular tergesa, air mata setan mulai mengkristal karena dinginnya dosa semakin meramba paksa. Oleh karenanya, optimisme adalah durjana yang terlapis emas. Kita hanya berspekulasi, melacurkan otak karena hal yang tidak pasti.

Tetapi kita ingkar. Menyandera mimpi di balik sangkar. Menghambat igauan menjadi hanya sekedar gumpalan kelenjar. Kertas ini masih kosong, menunggu diisi narasi pada episode ironi, yang sejujurnya tidak kuasa saya tumpahkan jika tidak di balut caci. Saya bungkam. Paradoks malam ini luar biasa jahanam.



Kita adalah perubahan dari ranah ketidaktahuan ilusi...

Saya, juga anda, yang di pertuan setan, sepertinya hanya perlu menari dalam badai kegagalan. Malam ini. detik ini. tepat ketika yang basah melingkupi...

***

Komentar

Akashisedai mengatakan…
Harus ajarin aku pokoknya. Aargggh tulisannya bikin gigit bibir!
Endah Asmowidjoyo mengatakan…
K.E.R.E.N udah gt aja
Adie Riyanto mengatakan…
Puitis banget
Kang Dedy mengatakan…
dua jempol mas... keren abis
anggita lia mengatakan…
Bener-bner dahhh ngenaaa sekali ❤️
Alvin Hikam mengatakan…
Apa cuma gw yg tau blog ini dari org yg komen di postingan titisari dan ngetag @asyaqho? Gw yg langsung buka ignya dan liat2 postingannya. Tapi sampe skrg gw ngga tau lo itu siapa.. :(

Coretan Populer